BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Etika Pelayanan Umum
Pemikiran tentang etika kaitannya dengan pelayanan publik mengalami perkembangan sejak tahun 1940-an melalui karya Leys (dalam Keban, 1994: 50-51). Leys berpendapat: “bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standard-standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan, dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang sudah ada”. Kemudian Tahun 1950-an, muncul perkembangan pemikiran baru. Hal ini terlihat dalam karya Anderson (dalam Keban, 1994: 51) menyempurnakan aspek standard yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Karya Anderson menambah suatu point baru, bahwa standard-standard yang digunakan sebagai dasar keputusan tersebut sedapat mungkin merefleksikan nilai-nilai dasar dari masyarakat yang dilayani.
Di tahun 1960-an, muncul lagi pemikiran baru lewat tulisan Golembiewski (dalam Keban, 1994: 51) menambah elemen baru yaitu standar etika mungkin mengalami perubahan dari waktu-kewaktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standard-standard perilaku tersebut.
Pada permulaan tahun 1970-an, beberapa tulisan merefleksikan kecenderungan baru, tulisan Hart (dalam Keban, 1994) mempromosikan nilai-nilai social equity sebagai pedoman dasar administrasi negara, dan menyarankan teori keadilan dan rawls sebagai pedoman etika bagi masyarakat maupun administrator sebagai individu. Kecenderungan baru juga terlihat pada tulisan Henry (dalam Keban, 1994) yang menekankan tanggung jawab atau keharusan administrator publik untuk memperhatikan aspek etika, dan tidak hanya melekat pada aspek efesiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi. Menurut Henry, teori rawls tentang justice al fanicres sangat bermanfaat untuk dipertimbangkan dalam praktek administrasi negara. Dengan demikian aspek yang ditambahkan dalam permulaan tahun 1970-an ini adalah aspek keadilan dan tanggung jawab.
Sejak permulaan tahun 1970-an ada beberapa tokoh penting yang sangat mempengaruhi etika administrator publik, dua diantaranya adalah John Rohr dan Terry L.Cooper. Rohr (dalam Keban,1994: 51-52) menyarankan agar administrator dapat menggunakan regime norms yaitu nilai-nilai keadilan, persamaan, dan kebebasan sebagai pengambilan keputusan terhadap berbagai alternatif kebijaksanaan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Dengan cara demikian, administrator negara dapat menjadi etis (being ethical). Namun, menurut Cooper (dalam Keban,1994: 51) etika sangat melibatkan substantive reasoning tentang kewajiban, konsekwensi dan tujuan akhir; dan bertindak etis (doing ethics) adalah melibatkan pemikiran yang sistematis tentang nilai-nilai yang melekat pada pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan. Pemikiran Cooper menunjukkan administrator yang etis adalah administrator yang selalu terikat pada tanggung jawab dan peranan organisasi, sekaligus bersedia menerapkan standard etika secara tepat pada pembuatan keputusan administrasi.
B. Definisi Etika Pelayanan Umum
Etika dalam konteks birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Oleh karena etika mempersoalkan “baik-buruk” dan bukan “benar-salah” tentang sikap, tindakan dan perilaku manusia dalam berhubungan dengan sesamanya baik dalam masyarakat maupun organisasi publik, maka etika mempunyai peran penting dalam praktek administrasi negara.
Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat, kemampuan masyarakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dsb. Sedangkan dalam arti yang luas konsep pelayanan publik (public service) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (Perry, 1989). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititik beratkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi, dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Kumorotomo mendefinisikan etika pelayanan publik sebagai suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik.
Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat, etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
C. Pentingnya Etika Pelayanan Umum (publik)
Kekuasaan membuat kebijakan publik berada pada kekuasaan politik (political master), dan melaksanakan kebijakan politik tersebut merupakan kekuasaan administrasi negara. Namun, administrasi negara dalam menjalankan kebijakan politik tersebut memiliki kewenangan secara umum disebut “discretionary power”, yaitu keleluasaan untuk menafsirkan suatu kebijakan politik dalam bentuk program dan proyek, maka timbul suatu pertanyaan, apakah ada jaminan dan bagaimana menjamin kewenangan itu digunakan secara “baik dan tidak secara buruk”. Atas dasar itulah etika di perlukan dalam administrasi publik. Etika dapat dijadikan pedoman, referensi, petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik, dan sekaligus digunakan sebagai standar penilaian apakah perilaku aparat birokrasi dalam menjalankan kebijakan politik dapat dikatakan baik atau buruk.
Beberapa pandangan yang mendukung arti pentingnya etika dalam etika administrasi negara seperti dikutip dari buku karangan Kartasasmitaterbitan tahun 1977 sebagai berikut: “Birokrasi melenceng dari keadaan yang seharusnya. Birokrasi selalu dilihat sebagai masalah teknis dan bukan masalah moral, sehingga timbul berbagai persoalan dalam bekerjanya birokrasi publik”. Birokrasi sebagai bentuk organisasi yang ideal, telah merusak dirinya dan masyarakatnya dengan ketiadaan norma-norma, nila-nilai dan etika yang berpusat pada manusia.
Sementara pemahaman pelayanan publik yang disediakan oleh birokrasi merupakan wujud dari fungsi aparat birokrasi sebagai abdi masyarakat dan abdi negara. Sehingga maksud dari publik servis tersebut demi mensejahterakan masyarakat. Kaitan dengan tersebut Widodo (2001: 269) mengartikan, pelayanan publik sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Sehubungan dengan itu, dikemukakan Thoha (1988: 119) kondisi masyarakat terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat. Hal ini, berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Dengan kondisi masyarakat semakin kritis, birokrasi publik dituntut mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolaburatis dan dialogis, dan dari cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988: 119).
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan tersebut, aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih professional, efektif, efisien, sederhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsive, adaftif dan sekaligus dapat membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Effendi, 1986: 213).
D. Etika Pelayanan Publik Indonesia
Mengenai bentuk pelayanan itu tidak akan terlepas dari tiga macam pelayanan yaitu :
1. Pelayanan dengan lisan
2. Pelayanan melalui tulisan
3. Pelayanan dengan perbuatan
Ketiga bentuk pelayanan tersebut dalam setiap organisasi tidaklah dapat selamanya berdiri secara murni, melainkan sering kombinasi. Apalagi pelayanan tersebut pelayanan publik pada Kantor Pemerintah.
Faktor utama dalam keterpurukan pelayanan publik di Indonesia adalah lemahnya etika sumber daya manusia (SDM), yaitu birokrat yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Etika pelayanan publik harus berorientasi kepada kepentingan masyarakat berdasar asas transparansi (keterbukaan dan kemudahan akses bagi semua pihak) dan akuntabilitas (pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan perundang-undangan) demi kepentingan masyarakat.
Dalam pemberian pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat kita amati mulai dari proses kebijakan publik yaitu (pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, informasi,dsb.) yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb, sehingga tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang unggul kapada masyarakat.
Sudah sepantasnnya pelayanan umum dilakukan secara beretika agar tidak adanya kekecewaan dalam suatu masyarakat. Etika yang sewajarnya ada kini sudah mulai luntur oleh tindakan kurang terpuji dari pihak aparatur negara.
Tindakan-tindakan tidak terpuji tersebut diantaranya adalah :
1. Aparat belum memberikan informasi yang jelas dan benar kepada pengguna jasa, terkadang terkesan berbelit-belit dan akhirnya para aparatur berkesempatan untuk mendapatkan uang lebih dari tawarannya yang menguntungkan, misalkan dapat menyelesaikan pembuatan KTP dengan cepat, namun dengan sedikit imbalan atas usaha yang dilakukannya.
2. Aparat belum menunjukkan sikap ramah, sopan, dan santun pada pengguna jasa. Sikap semena-mena yang ditunjukkan sebagian aparatur terkesan seperti merajai atau menggurui, meskipun dengan orang yang lebih tua. Sikap tersebut dikarenakan oleh derajat yang dia miliki dia rasakan sebagai derajat yang paling tingggi, meski sebenarnya dia tahu bahwa dia merupakan pelayan bagi masyarakat.
3. Masih ada pegawai yang tidak berada pada tempat kerjanya atau mejanya kosong disaat pengguna jasa membutuhkan pelayanan. Adanya ‘Bolos’ kerja yang dilakukan aparatur membuat masyarakat merasa dirugikan, tak jarang masyarakat yang ingin meminta bantuan jasa merupakan masyarakat yang datang dari jauh dan ternyata setelah sampai ditempat pelayanan, para pelayan masyarakat sedang tidak ada ditempat.
4. Masih ada pegawai yang mementingkan kepentingan pribadi dan terlalu tunduk dengan apa yang diperintahkan pimpinan. Pekerjaan seharusnya tidak boleh dicampur dengan urusan pribadi agar tidak adanya kekacauan dalam pekerjaan terhadap mayarakat. Jika pelayan masyarakat terlalu tunduk dengan atasan maka tak jarang pekerjaan untuk melayani masyarakat menjadi terbengkalai, karena dia lebih menjadi pelayan pimpinan daripada pelayan masyarakat.
5. Aparat belum tanggap terhadap keluhan pengguna jasa
Maka dari itu sudah seharusnya diterapkan pelayanan publik yang profesional, pelayanan publik yang professional adalah pelayanan publik yang dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan yaitu aparatur pemerintah. (Widodo, 2001: 270-271). Ciri-cirinya yaitu :
1. Efektif lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
2. Sederhana mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.
3. Kejelasan dan kepastian (transparan), mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai :
· Prosedur tata cara pelayanan
· Persyaratan pelayanan, baik teknis maupun persyaratan administratif
· Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan
· Rincian biaya/tartif pelayanan dan tata cara pembayarannya
· Jadwal waktu penyelesaian pelayanan
4. Keterbukaan mengandung arti prosedur/tatacara persyaratan, satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tarif serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib di informasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak.
5. Efisiensi mengandung arti :
· Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang berkaitan
· Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6. ketepatan waktu kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
7. Responsif lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah, kebutuhan dalam aspirasi masyarakat yang dilayani.
8. Adaptif adalah cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Dalam etika pelayanan publik ada seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, dan penuntun bagi birokrasi publik dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, yakni:
1. Efisiensi, nilai efisiensi artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka efisien (tidak boros). Menurut Darwin (1999) mereka akan menggunakan dana publik (public resources) secara hati-hati agar memberikan manfaat/hasil yang sebesar-besarnya bagi publik. Efisiensi dapat dicapai manakala setiap anggota organisasi dapat memberikan kontribusi kepada organisasi. Karena itu, perlu ditegakkan sebuah prinsip “janganlah bertanya apa yang saudara dapatkan dari organisasi, tapi bertanyalah apa yang dapat saudara berikan kepada organisasi”.
2. Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, nilai ini dimaksudkan supaya birokrasi yang baik dapat membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi. Artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.
3. Impersonal, nilai impersonal maksudnya adalah dalam melaksanakan hubungan antara bagian satu dengan bagian yang lain, atau kerjasama antara orang yang satu dengan lainnya dalam kerjasama kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal. Maksudnya hubungan impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari unsur perasaan daripada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang salah harus diberi tindakan, dan yang berprestasi selayaknya mendapat penghargaan.
4. Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen atau promosi pegawai, hendaknya menggunakan “merytal system, artinya dalam penerimaan pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience), sehingga dengan sistem ini akan menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, dan bukan “spoil system”.
5. Responsible, nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurut Friedrich dalam Darwin (1988), responsibilitas merupakan konsep berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki administrator (birokrasi publik) dalam menjalankan tugasnya. Untuk bisa menilai perilaku, sikap, dan sepak terjang administrator harus memiliki standar penilaian sendiri yang bersifat administratif atau teknis, dan bukan politis. Disamping itu, pertanggungjawaban administratif menuntut administrator harus bertindak berdasarkan moral. Dalam hal ini birokrasi publik perlu bersikap adil, tidak membedakan client, peka terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, atau memegang teguh kode etik sebagai pelayan publik. Sehingga dengan demikian diharapkan birokrasi yang responsible akan mampu memberikan layanan publik yang baik dan profesional.
6. Accountable, nilai accountable menurut Harty (1977) merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat dan tidak digunakan secara ilegal. Sedangkan Herman Finner (1941) dalam Muhadjir (1993) nilai accountable merupakan konsep yang berkenaan dengan standar eksternal yang menentukan kebenaran suatu tindakan oleh birokrasi publik. Karenanya akuntabilitas ini disebut tanggungjawab yang bersifat objektif, sebab birokrasi dikatakan accountable bilamana mereka dinilai objektif oleh orang (masyarakat atau melalui wakilnya) dapat mempertanggungjawaban segala macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki itu berasal. Sehingga birokrasi publik dapat dikatakan akuntabel manakala mereka mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan publik yang profesional dan dapat memberikan kepuasan publik)
7. Responsiveness, nilai ini berkaitan dengan daya tanggap dari birokrasi publik dalam menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, dan aspirasi masyarakat. Mereka cepat memahami apa yang menjadi tuntutan publik, dan berusaha untuk memenuhinya. Mereka tidak suka menunda-nunda waktu, memperpanjang jalur pelayanan, atau mengutamakan prosedur tetapi mengabaikan substansi. Dengan demikian birokrasi publik dapat dikatakan baik apabila mereka dinilai memiliki responsif (daya tanggap) yang tinggi terhadap tuntutan, masalah, keluhan serta aspirasi masyarakat.
E. Faktor Penyebab Lemahnya Etika Pelayanan Publik
Lemahnya etika pelayanan terhadap masyarakat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Gaji rendah (56%),
2. Sikap mental aparat pemerintah (46%),
3. Kondisi ekonomi buruk pada umumnya (32%),
4. Administrasi lemah dan kurangnya pengawasan (48%),
5. Lain-lain (13%).
Persentase lebih dari 100% disebabkan ada respons ganda
dari responden (Smith).
F. Prinsip Etika Pelayanan Menurut ASPA
Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program affirmative action.
Adapun bentuk dari Etika administrasi negara menurut American society for Public Administration (Perhimpunan Amerika untuk Administrasi Negara), menyebutkan prinsip-prinsip etika pelayanan sebagai berikut:
1. Pelayanan terhadap publik harus diutamakan
2. Rakyat adalah berdaulat, dan mereka yang bekerja di dalam pelayanan publik secara mutlak bertanggung jawab kepadanya
3. Hukum yang mengatur semua kegiatan pelayanan publik. Apabila hukum atau peraturan yang ada bersifat jelas, maka kita harus mencari cara terbaik untuk memberi pelayanan publik
4. Manajemen yang efesien dan efektif merupakan dasar bagi administrator publik. Penyalahgunaan, pemborosan, dan berbagai aspek yang merugikan tidak dapat ditolerir
5. Sistem merit dan kesempatan kerja yang sama harus didukung, diimplementasikan dan dipromosikan
6. Mengorbankan kepentingan publik demi kepentingan pribadi tidak dapat dibenarkan
7. Keadilan, kejujuran, keberanian, kesamaan, kepandaian, dan empathy merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan secara aktif harus dipromosikan
8. Kesadaran moral memegang peranan penting dalam memilih alternatif keputusan
9. Administrator publik tidak semata-mata berusaha menghindari kesalahan, tetapi juga berusaha mengejar atau mencari kebenaran.
Selanjutnya asas-asas etika itu dituangkan dalam sebuah kode etika yang memuat 5 asas etika dan 7 asas mutu yang wajib di indahkan dan dijalankan oleh para anggota perhimpunan yang menjadi administrator negara, yaitu sebagai berikut :
1. Menunjukkan ukuran baku tertinggi tentang keutuhan watak pribadi, kebenaran, kejujuran, dan ketabahan dalam semua kegiatan umum, agar supaya membangkitkan keyakinan dan kepercayaan rakyat terhadap pranata-pranata negara
2. Menghindari sesuatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam pertentangan dengan penuaian dari kewajiban-kewajiban resmi
3. Mendukung, melaksanakan, dan memajukan penempatan tenaga kerja menurut penilaian kecakapan serta tata-acara tindakan yang tidak membeda-bedakan guna menjamin kesempatan yang sama pada penerimaan, pemilihan, dan kenaikan pangkat terhadap orang-orang yang memenuhi persyaratan dari segenap unsur masyarakat
4. Menghapuskan semua pembedaan tak sah, kecurangan, dan salah pengurusan keuangan negara serta mendukung rekan-rekan kalau mereka berada dalam kesulitan karena usaha yang bertanggungjawab untuk memperbaiki pembedaan, kecurangan, salah urus, atau salah penggunaan yang demikian
5. Melayani masyarakat secara hormat, penuh perhatian, sopan, dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri
6. Berjuang kearah keunggulan berkeahlian perseorangan dan menganjurkan pengembangan berkeahlian dan termasuk mereka yang berusaha memasuki bidang administrasi negara
7. Menghampiri tugas organisasi dan kewajiban-kewajiban kerja dengan suatu sikap yang positif dan secara membangun mendukung tata hubungan yang terbuka, daya cipta, pengabdian, dan welas asih
8. Menghormati dan melindungi keterangan berdasarkan hak-hak istimewa yang dapat diperoleh dalam pelaksanaan kewajiban-kewajiban resmi
9. Menjalankan wewenang kebijaksanaan apapun yang dimiliki menurut hukum untuk memajukan kepentingan umum atau masyarakat
10. Menerima sebagai suatu kewajiban pribadi tanggung jawab untuk mengikuti perkembangan baru terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan menangani urusan masyarakat dengan kecakapan berkeahlian, kelayakan, sikap tak memihak, efisiensi, dan daya guna
11. Menghormati, mendukung, menelaah, dan bilamana perlu berusaha untuk menyempurnakan konstitusi-konstitusi negara serikat dan negara bagian serta hukum-hukum lainnya yang mengatur hubungan-hubungan diantara badan-badan pemerintah, pegawai-pegawai, nasabah-nasabah, dan semua warga negara.
G. Faktor Pendukung Etika Pelayanan Publik
Proses pelayanan publik agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan, tentunya harus didukung oleh unsur-unsur yang terkait, yang merupakan faktor pendukung dari proses pelayanan tersebut. Faktor-faktor pendukung yang tidak baik, akan dapat menghambat pelayanan itu sendiri.
Adapun faktor-faktor pendukung proses pelayanan yang semestinya selalu mendapatkan perhatian seksama, diantaranya adalah :
1. Faktor kesadaran para pejabat serta petugas yang berkecimpung dalam pelayanan
2. Faktor aturan yang menjadi landasan kerja pelayanan
3. Faktor organisasi yang merupakan alat serta sistem yang memungkinkan berjalannya mekanisme kegiatan pelayanan
4. Faktor pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum
5. Faktor ketrampilan petugas
6. Faktor sarana alam pelaksanaan tugas pelayanan.
Adanya dukungan dari faktor-faktor yang telah dijabarkan, maka dalam pelayanan publik tentunya diharapkan dapat memenuhi harapan yang didambakan oleh setiap orang yang membutuhkan pelayanan. Dambaan itu diantaranya adalah :
1. Kemudahan dalam pengurusan kepentingan
2. Mendapatkan pelayanan yang wajar
3. Mendapatkan perlakuan yang sama tanpa pilih kasih
4. Mendapatkan perlakuan yang jujur dan terus terang
Pemberian pelayanan yang baik dan memuaskan kepada manajemen maupun masyarakat, tentunya akan muncul suatu dampak yang positif di masyarakat yaitu :
1. Masyarakat menghargai korps pegawai
2. Masyarakat patuh terhadap aturan-aturan pelayanan
3. Masyarakat bangga terhadap korps pegawai
4. Ada kegairahan usaha dalam masyarakat
5. Ada peningkatan dan pengembangan dalam masyarakat menuju segera tercapainya masyarakat adil dan makmur
Karena pentingnya pelayanan bagi kehidupan manusia, ditambah kompleksnya kebutuhannya, maka bentuk pelayanan yang diperlukan lebih banyak, dapat berupa kombinasi dari pelayanan lisan, pelayanan melalui tulisan dan pelayanan dengan perbuatan. Apalagi pelayanan publik pada sebuah kantor pemerintahan. Disamping itu pola pelayanan lain yang diharapkan dalam etika pelayanan publik adalah pelayanan yang menukik pada pendekatan deontologi, yaitu pelayanan yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip nilai moral yang harus ditegakkan karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Dengan pelayanan seperti ini diharapkan agar birokrasi selalu melakukan kewajiban moral untuk mengupayakan agar sebuah kebijakan menjadi karakter masyarakat. Bila hal ini melembaga dalam diri pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi patut menjadi teladan. Mereka tidak melakukan sesuatu yang merugikan negara dan masyarakat, misalnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Etika pelayanan kepada publik (masyarkat umum) memang sangat diharapkan, karena etika tersebut kini mulai luntur oleh perbuatan para pelayan masyarakat (aparatur pemerintah) yang kurang menjunjung kode etika pelayanan kepada masyarakat. Terbukti dengan adanya perbuatan nakal para oknum aparatur pemerintah yang melakukan beberapa kecurangan yang diantaranya melakukan pemungutan kepada masyarakat yang menginginkan kelebihan pelayanan, seperti mempercepat penyelesaian pembuatan KTP namun dengan cara membayar uang balas jasa mereka. Perbuatan tersebut tidak seharusnya dilakukan karena bertentangan dengan norma yang sudah ada.
Walau mungkin etika pelayanan kepada publik belum disebutkan secara jelas, namun etika pelayanan publik dapat dilakukan sesuai dengan hati nurani. Karena dengan hati nurani kita dapat membedakan yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, dengan adanya pelayanan yang baik diharapkan masyarakat dapat merasakan kenyamanan dalam pelayanan.
B. Saran
Etika pelayanan publik sebaiknya disosialisasikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelayanan kepada masyarakat, karena sebagian besar pelayan masyarakat belum mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat. Sebagian mungkin masih belum mengetahui bagaimana seharusnya tindakan untuk melayani masyarakat sehinggga dia melakukan kesalahan dalam melakukan pelayanan atas ketidaktahuannya. Sangat disayangkan jika kesalahan dalam pelayanan dilakukan karena kebutaan akan bagaimanan seharusnya etika yang diterapkan kepada masyarakat.
Saran selanjutnya berikanlah penghargaan jika aparatur melakukan tindakan sesuai etika dan sebaliknya, berikanlah sanksi yang tegas kepada pelanggar etika pelayanan apalagi yang melakukan dengan sengaja. Diharapkan dengan adanya tindakan seperti itu para pelayan masyarakat termotivasi untuk mengetahui etika pelayanan kepada masyarakat sehingga tindakannya dapat sesuai dengan kehendak rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
http://budiutomo79.blogspot.com/2007/11/etika-dalam-pelayanan-publik.html
http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/07/konsep-etika-pelayanan-publik.html
http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/studi-etika-pelayanan-publik/Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan administrasi dari politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi – politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan- keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap “permainan etika” yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip- prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (lihat Henry, 1995: 400). Alasan mendasar mengapa pelayanan publik harus diberikan adalah adanya
http://staf.unp.ac.id/yusranrdy/index.php?option=com_content&task=view&id=41&Itemid=2
http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/06/06/mewujudkan-birokrasi-yang-mengedepankan-etika-pelayanan-publik/
http://titinmaseng.blogspot.com/2009/05/etika-pelayanan-publik-di-indonesia.html
http://www.freelists.org/post/nasional_list/ppiindia-Lemahnya-Etika-Pelayanan-Publik,1